Dalam menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian, seorang Muslim diajarkan untuk memiliki dua pegangan kokoh: Tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah) dan Ikhtiar (usaha atau upaya maksimal). Kedua konsep ini sering disalahpahami sebagai pertentangan, padahal dalam pandangan Islam, keduanya adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, menciptakan keseimbangan sempurna antara keyakinan spiritual dan tanggung jawab tindakan.
Tawakal tanpa ikhtiar adalah kepasrahan buta, sementara ikhtiar tanpa tawakal adalah kesombongan dan ketergantungan pada diri sendiri. Islam menuntut keduanya hadir secara simultan.
1. 🤲 Tawakal: Puncak Kepercayaan Kepada Sang Pencipta
Tawakal (التَّوَكُّلُ) secara bahasa berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam istilah syariat, tawakal adalah menyandarkan segala urusan hanya kepada Allah SWT, meyakini sepenuhnya bahwa hanya Dia lah yang berhak dan mampu memberikan manfaat atau menolak mudarat, seraya menjalankan sebab-sebab yang diperintahkan.
Kedudukan Tawakal
Tawakal adalah salah satu bentuk ibadah hati yang paling agung, bahkan para ulama menggolongkannya sebagai bagian dari kesempurnaan iman. Allah SWT berulang kali memerintahkan tawakal dalam Al-Qur'an:
"Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan(Nya)." (QS. Ath-Thalaq: 3)
Tawakal yang benar harus memenuhi unsur-unsur berikut:
Keyakinan Penuh: Percaya bahwa Allah Maha Mampu (Al-Qadir) dan Maha Memberi Rezeki (Ar-Razzaq).
Ketergantungan Total: Hati bergantung penuh kepada-Nya dalam segala kondisi, meyakini bahwa hasil akhir berada di tangan-Nya.
Tidak Bergantung pada Makhluk: Meskipun mengambil sebab dari makhluk, hati tidak boleh menyandarkan hasil pada makhluk tersebut.
Tawakal yang Salah (Tawakal Batil)
Tawakal bukan berarti berpangku tangan dan menunggu keajaiban. Sikap pasif ini adalah tawakal buta atau tawakal batil yang bertentangan dengan syariat dan akal sehat.
Kisah legendaris mengenai unta Rasulullah SAW menegaskan prinsip ini. Ketika ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat dengan alasan "bertawakal kepada Allah," Rasulullah SAW bersabda: "Ikatlah untamu, lalu bertawakallah." (HR. At-Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa tindakan nyata (ikhtiar) harus mendahului penyerahan diri (tawakal).
2. 🏃 Ikhtiar: Wujud Amanah dan Tanggung Jawab
Ikhtiar (الاِخْتِيَارُ) secara bahasa berarti memilih, mencari, atau berusaha. Dalam konteks ini, ikhtiar adalah tindakan nyata seorang Muslim dalam mengerahkan segala kemampuan, tenaga, dan pikiran untuk mencapai tujuan yang halal dan baik, dengan mengikuti hukum sebab-akibat (sunnatullah).
Kedudukan Ikhtiar
Ikhtiar adalah bukti bahwa seorang hamba menyadari dirinya diciptakan untuk beramal dan bertanggung jawab atas tindakan serta lingkungannya. Ikhtiar memiliki beberapa fungsi:
Ketaatan pada Perintah: Ikhtiar adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah untuk berusaha dan mencari rezeki. Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّه"Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah..." (QS. Al-Jumu'ah: 10)
Penggunaan Akal: Ikhtiar melibatkan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan untuk merencanakan dan melaksanakan sebab-sebab yang paling efektif dan efisien.
Hormat pada Sunnatullah: Menunjukkan penghargaan terhadap hukum alam (sunnatullah) yang telah ditetapkan Allah; bahwa api membakar, air membasahi, dan kerja keras mendatangkan hasil.
Ikhtiar yang Berlebihan
Meskipun ikhtiar diwajibkan, ikhtiar yang berlebihan dapat berubah menjadi penyakit hati, yaitu ketergantungan pada sebab (al-i'timad 'ala asbab).
Ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa hasil sepenuhnya adalah buah dari kehebatan, kecerdasan, dan kerja kerasnya sendiri, melupakan peran Allah SWT. Sikap ini berujung pada kesombongan ketika berhasil dan putus asa ketika gagal.
3. ☯️ Keseimbangan Sempurna: Tawakal dan Ikhtiar
Harmoni tawakal dan ikhtiar adalah esensi dari etos kerja Islami. Hubungan keduanya dapat digambarkan dalam tiga fase berurutan:
Fase 1: Pra-Tindakan (Niat dan Persiapan)
Ikhtiar: Merencanakan dengan matang, mengumpulkan data, dan mempelajari risiko.
Tawakal: Menyertakan niat yang ikhlas dan berdoa memohon taufik (pertolongan) sebelum memulai.
Fase 2: Saat Tindakan (Pelaksanaan)
Ikhtiar: Mengerahkan seluruh kemampuan dan berusaha sebaik mungkin, tanpa menunda-nunda.
Tawakal: Menjaga hati agar tetap terhubung dengan Allah, meyakini bahwa meskipun hasilnya sulit, Allah Maha Melihat dan Maha Menghitung setiap usaha.
Fase 3: Pasca-Tindakan (Hasil)
Ikhtiar: Mengevaluasi hasil yang dicapai, memperbaiki kesalahan, dan belajar dari pengalaman.
Tawakal: Menerima hasil yang diberikan (baik sukses maupun gagal) dengan ridha. Jika berhasil, bersyukur kepada Allah (bukan kepada diri sendiri). Jika gagal, bersabar dan meyakini bahwa itu adalah takdir terbaik dari Allah, dan kegagalan tersebut menjadi pelajaran untuk ikhtiar berikutnya.
Seorang Mukmin yang tawakal dan berikhtiar adalah pribadi yang bekerja keras seperti tidak butuh kepada Allah, namun hatinya bergantung kepada Allah seolah-olah dia tidak melakukan apa-apa. Dengan kombinasi ini, ia terbebas dari kekhawatiran yang berlebihan (karena sudah berserah diri) dan terbebas dari kemalasan (karena diwajibkan berusaha).
Inilah jalan tengah (wasathiyah) yang diajarkan Islam, menjadikan setiap langkah usaha di dunia sebagai ibadah yang berpahala dan setiap hasil yang diterima sebagai ladang syukur atau sabar.
